A. Era
reformasi
Reformasi menurut KBBI adalah perubahan secara drastic
untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat
atau negara. Sedarmayanti (2009:67) mengatakan bahwa reformasi merupakan proses
upaya sistematis, terpadu, konferensif, ditujukan untuk merealisasikan tata
pemerintah yang baik (Good Governance).
Dapat disimpulkan bahwa reformasi merupakan upaya perubahan untuk membuat
pemerintahan menjadi lebih baik lagi sesuai dengan kehendak masyarakat. Pada
era reformasi, terdapat beberapa aspek/faktir yanf mendasari perubahan orde
baru ke reformasi, yaitu:
Krisis
Politik
Pada masa orde baru selalu dikaitkan dengan demokrasi
Pancasila, namun faktanya demokrasi yang dijalankan hanya rekayasa ciri-ciri
kehidupan politik yang represif, yaitu:
1. Setiap
Orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai
tindakan subversive atau menentang NKRI.
2. Pelaksanaan
Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau rekayasa.
3. Maraknya
korupsi, kolusi, dan nepotisme dan masyarakat tidak memiliki kebebasan.
4. Pelaksanaan
Dwi Fungsi ABri yang membatasi warga negara untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan.
5. Terciptanya
kekuasaan presiden yang tak terbatas akibat hasil rekayasa yang tidak
demokratis.
Krisis
Hukum
Hukum dijadikan sebagai tameng atau alat pembenaran
oleh pejabat politik untuk kepentingan kekuasaan. Hal tersebut berlawanan
dengan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kehakiman
memiliki kekuasaan yang merdeka dan terleas dari kekuasaan pemerintah atau
eksekutif.
Krisis
Ekonomi
Pada masa orde baru terjadi banyak program pembangunan
sehingga menjadikan hutang luar negeri Indonesia menjadi sangat banyak, hal
tersebut menyebabkan Indonesia mengalami krisis moneter dan tidak mampu
menghadapi krisis global ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat.
Krisis
Sosial
Krisis sosial muncul sebagai dampak adanya krisis
politik, hukum, dan juga ekonomi. Pada masa orde baru, banyak terjadi kerusuhan
di seluruh daerah di Indonesia akibat dari maraknya konflik antar yang
mengandung SARA.
Krisisi
Kepercayaan
Setelah banyak krisis yang terjadi pada masa orde
baru, Presiden Soeharto yang pada waktu itu merupakan presiden masa orde baru dianggap
tidak dapat mengidupkan politik yang demokratis, penegakan hukum dan keadilan,
dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat mengakibatkan
krisis kepercataan masyarakat terhadap pemerintah.
B. Dinamika
Kebijakan Informasi dan Komunikasi Era Reformasi
1. B.J.
Habibie
a. Pengesahan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada 23 September 1999 sebagai ganti UU
sebelumnya.
b. Pencabutan
pemberedelan pers pada pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
c. Penyederhanaan
SIUPP pada pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
d. Melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua
tahun penjara atau denda Rp. 500 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers
pada pasal 4 ayat 2 juncto Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999.
e. Mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan
pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
2. K.H.
Abdurrahman Wahid
a. Penghapusan
Departemen Penerangan.
b. Dibentuknya
Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN) pada 7 Desember 1999 didasari
oleh Keppres Nomor 153 Tahun 1999 sebagai ganti Departemen Penerangan.
c. Departemen
Penerangan diakui oleh Menteri penerangan, setelah adanya Undang-Undang Pers
tahun 1999 tidak ada lagi tugas bagi Departemen Penerangan.
3. Megawati
Soekarnoputri
a. Menetapkan
Kementerian Negara dan Informasi pada tahun 2001, Syamsul Mu’arif ditunjuk
sebagai Menteri Negara.
b. Dibentuknya
Lembaga Informasi Nasional (LIN) yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan
bidang pelayanan informasi nasional.
4. Susilo
Bambang Yudhoyono
a. Menggabungkan
Kementerian Negara Komunikasi dana Informasi, Lembaga Informasi Nasional, dan
Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi
b. Ditambahkannya
Jendral baru yaitu Direktorat Jenderal Aplikasi.
5. Joko
Widodo
a. Pers
dinilai rendah karena perlindungan yang buruk terhadap wartawan.
b. Terdapat
kebijakan clearing house untuk
menyaring permohonan wartawan asing yang ingin meliput Papua, padahal
seharusnya bebas untuk dipantau oleh HAM Internasional.
C. Keadaan
Pers saat Reformasi dan Regulasi Pers saat Reformasi
Pada
era reformasi, seluruh kegiatan pemerintah terlaksana lebih demokratis jika
dibandingkan dengan masa orde baru. Kebijakan pers pun juga memiliki perubahan
yang cukup besar, antara lain kebebasan dalam berpendapat yang tidak terkekang
lagi namun tetap bertanggung jawab kepada pemerintah, kebebasan ini memunculkan
beberapa peraturan yang sebelumnya dianggap merugikan pers, antara lain:
1. Mengesahkan
UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers pada tanggal 23 September 1999.
2. Pasal 9 ayat
2 UU No. 40 Tahun 1999 meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk menerbitkan
pers.
3. Pasal 4 ayat
2 UU No.40 tahun 1999 menghilangkan ketentuan sensor dan pembredelan pers.
4. Pasal 4 ayat
2 juncto pasal 18 ayat 1 UU No.40 Tahun 1999 melindungi
praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp.
500 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers.
5. Mencabut SK
Menpen No.47 Tahun 1975 tentanf pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai
satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri
era wadah tunggal organisasi kewartawanan sehingga tidak sampai dalam satu
tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik.
6. Membubarkan
departemen penerangan karena dianggap sangat mengekang kebebasan pers namun
dibentuk dewan pers yang berguna untuk mengontrol serta menetapkan kode etik
dan menjadi mediator jika terjadi kesalahpahaman diantara rakyat dan
pemerintah.
D. Perbedaan
Pers pada Masa Orde Baru dan Reformasi
Pers
pada masa orde baru seakan-akan tidak ada fungsinya untuk rakyat, namun hanya
sebagai boneka penguasa, tidak ada kebebasan berpendapat namun pers terlalu
dikekang dan dikuasai oleh pemerintah. Hal itu bertujuan agar hal-hal negatif
yang terjadi di dalam pemerintahan orde baru tidak sampai ke telinga
masyarakat. Banyak pula terjadi pemberedelan pers jika tidak sejalan dengan
keinginan pemerintah atau mengandung konten yang dianggap melanggar
Pada
masa reformasi kebebasan pers dibuka sangat lebar
dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/PER/MENPEN/1998,
tentang ketentuan-ketentuan SIUPP maupun pemberedelan bagi pers ditiadakan.
Sumber Referensi:
Hidayat,
D.N., Gazali, E., Suwardi, H., Kartosapoetro,I.S. (Eds.). (2000). Pers
dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Nurudin. (2008). Sistem
Komunikasi Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Widjaja,HAW. (2011). Otonomi
Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Lubis, C. (2016). Gus Dur
Sang Pembela Kebebasan Pers. Diakses dari
http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/ybJyW68N-gus-dur-sang-pembela-%20kebebasan-pers
Comments
Post a Comment