PERS PADA MASA ORDE BARU
Kebijakan
politik pembangunan merupakan kebijakan pada masa orde baru mengenai pers.
Politik pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah pada masa Orde Baru adalah
politik pembangunan yang bersifat kapitalistik dengan menggunakan strategi
pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan, hal tersebut diungkapkan oleh Abar
(1995:190) pada (Imron, 2016) . Maksud dari politik
pembangunan nasional sendiri adalah proses modernisasi atau bisa juga disebut
proses pembinaan bangsa di segala bidang seperti bidang ekonomi, bidang sosial,
bidang budaya, bidang pendidikan, maupun bidang mental. Hal tersebut
diungkapkan oleh Alfian (1990:241).
Sepanjang
tahun 1973, kritik mengenai pers semakin tajam dan keras terhadap politik
pembangunan. Seluruh masyarakat turut memprotes politik pembangunan yang
diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru tersebut. tidak hanya masyarakat saja,
banyak juga mahasiswa yang turut serta memprotes kebijakan politik pembangunan
tersebut. pemrotesan tersebut bertujuan agara pemerintah pada masa Orde Baru
meninjau kembali pelaksanaan politik pembangunan tersebut. Aksi-aksi pemrotesan
tersebut terjadi pada kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan
Yogyakarta. Pemrotesan-pemrotesan yang dilakukan tersbeut ditujukan kepada
pihak pemerintah yang dianggap telah menyebabkan perekonomian negara Indonesia bergantung
pada hutang.
Puncak
dari kritik dan pemrotesan serta aksi-aksi demo mahasiswa terjadi pada bulan
Januari 1974. Pada kala itu seluruh harga-harga pangan melonjak drastis, banyak
yang melakukan aksi demo atas hal itu. Aksi protes dan demo juga banyak
dilakukan pada surat kabar dan media-media televisi serta radio. Namun
pemerintah tidak tinggal diam atas hal tersebut. Pemerintah bergerak cepat
untuk menangkap dan tidak segan-segan untuk membunuh siapapun orang yang berani
mengangkat isu demo pada masa reformasi saat itu. Puncak dari tekanan Orde Baru
sendiri adalah pembredelan 12 surat kabar yang dimulai dengan pencabutan Surat
Izin Terbit atau biasa disebut SIT oleh Departemen Penerangan Republik
Indonesia dan Surat Izin Cetak atau biasa disebut SIC olek Pangkopkamtibda
Jaya. Pencabutan tersebut disebabkan karena isi surat kabar pada kala itu
dianggap menghasut masyarakat Indonesia dan membuat pihak pemerintah tidak
memiliki wibawa lagi dihadapan masyarakat Indonesia.
Berikut
ini adalah kronologi perkembangan dan pembredelan pers pada masa Orde Baru
bulan Januari tahun 1974 :
· 14
(malam) – 17 (pagi) Januari 1974
Perdana
Menteri Kakuei Tanaka dari Jepang datang ke Indonesia namun hanya beraktivitas
di dalam Istana Merdeka dan lapangan udara Halim Perdanakusuma karena demo yang
sangat luas terjadi di Ibukota Jakarta.
· 15
– 16 Januari 1974
Demo
yang dilakukan mahasiswa di Jakarta menentang kunjungan Perdana Menteri Tanaka
dan mengkritik politik pemerintah negara Indonesia. Demo tersebut disebut
sebagai Peristiwa Malapetaka Limabelas Januari atau sering kali disebut
“Malari”.
· 15
– 19 Januari 1974
Dikeluarkan
berbagai pernyataan pejabat militer dan pemerintah, pernyataan tersebut disebut
dengan “Pernyataan 17 Januari” dan dikeluarkan oleh pemerintah. Setelah
Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Hamengku Buwono IX bertemu dengan beberapa
menteri dan pemimpin-pemimpin militer serta polisi, lalu mengemukakan hal
seperti berikut “Demonstrasi yang menurut pengalaman menimbulkan kekacauan
dalam masyarakat tidak dibenarkan lagi. Menertibkam pemberitaan dalam pers
ataupun surat-surat kabar. Menertibkan kehidupan dalam universitas-universitas
dan sekolah-sekolah agar tidak digunakan untuk melakukan kegiatan politik.”
· 16
Januari 1974
Surat
Izin Terbit atau biasa disebut SIT dicabut oleh Departemen Penerangan akibat
“Malari”. Setelah itu Surat Izin Cetak atau SIC juga dibatalkan oleh Pelaksana
Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah atau
biasa disebut Laksus Pangkopkamtibda Jakarta Raya dan sekitranya.
· 19
Januari 1974
PWI
mengeluarkan surat pernyataan seperti berikut, “Menyerukan kepada seluruh pers
agar meghindari pemberitaan yang dapat menggoncangkan keadaan.”
· 20
Januari 1974
SIC
dicabut oleh Laksus Pangkobkamtibda Jawa Barat dari surat kabar mingguan
kampus.
· 21
Januari 1974
SIC
dicabut dari Harian-harian Kami, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan
Wenang, dan Pemuda Indonesia.
· 22
Januari 1974
PWI
cabang Jogja menyetujui pernyataan PWI Pusat bahwa akan turut serta menjaga
ketenangan dan ketentraman masyarakat dengan menggunakan kebijaksanaan dalam
pemberitaan pers.
· 23
Januari 1974
Serikat
Penerbit Surat Kabar atau biasa disebut SPS Pusat mengadakan rapat yang berisi
soal pembahasan masalah pencabutan SIC.
· 24
Januari 1974
SIC
dicabut dari harian Pedoman dan majalah mingguan berita Express.
· 2
Februari 1974
SIC
dicabut dari mingguan Indonesia Pos.
· 12
Februari 1974
Menteri
Penerangan menyatakan bahwa surat-surat kabar yang SIT nya dibatalkan tidak
akan diterbitkan kembali.
· 13
Februari 1974
Pertemuan
Menteri Penerangan dengan PWI Pusat dan SPS Pusat membicarakan penerbitan
gossip pornografis.
· 15
Februari 1974
Pemerintah
hanya akan mengeluarkan tiga SIT baru.
· 22
Februari 1974
SIT
dicabut juga oleh Departemen Penerangan dari Indonesia Pos.
· 1
Maret 1974
Semua
surat kabar di Palembang, Jambi, dan Lampung mulai tanggal ini harus meminta
SIC.
· 10
Maret 1974
Seluruh
penerbitan pers di Sumatera Utara harus meminta SIC dimulai dari adanya
pengumuman ini.
· 1
April 1974
SIT
baru diberikan pada Pelita yaitu pengganti Abadi.
· 9
April 1974
Berdasarkan
keputusan sidang Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional, SIT juga
dicabut dari Pedoman dan Express.
· 25
April 1974
Pembicaraan
soal nasib wartawan yang surat kabarnya dilarang akibat “Malari”. Pembicaraan
tersebut dilakukan oleh Departemen Penerangan dengan SPS Pusat dan PWI Pusat.
· 2
Mei 1974
SIT
baru diberikan kepasa The Indonesia Times sebagai pengganti The Jakarta Times.
· 4
Februari 1975
Mochtar
Lubis, pemimpin umum dan pemimpim redaksi Indonesia Raya dibebaskan kembali
pada tanggal 15 April 1975.
· 7
Agustus 1975
Semua
penerbitan pers di Sulawesi Utara dan Tengah harus meminta SIC.
Hal-hal
yang tertera diatas adalah kronologi aksi pembredelan pers akibat peristiwa “Malari”.
Semenjak saat itu kebijakan pers di Indonesia semakin ketat dan memiliki banyak
aturan. Namun mulai tanggal 3 Mei 1977 keharusan meminta Surat Izin Cetak atau
SIC dihapuskan di seluruh Indonesia. Hal tersebut berdasarkan keputusan Kepala
Staf Kopkamtib Laksamana Sudomo, tetapi Surat Izin Terbit atau SIT masih tetap
diberlakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Imron, S. T.
(2016). PEMBREDELAN PERS PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU DAN RELEVANSINYA
BAGI MATA KULIAH SEJARAH INDONESIA. Jurnal FKIP UNS, 144.
Indonesia, T. P.
(2004). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta:
Kompas .
Comments
Post a Comment