A. PERS BELANDA
Belanda telah datang ke Indonesia tahun 1596-an dan telah menapaki tanah Indonesia selama 350 tahun. Dalam kurun waktu yang lama ini, belanda cukup banyak menjajah berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan juga perkembangan pers. Lemaba-lembaga pers yang ada pada masa Belanda merupakan pers yang terbentuk atas kemauan atau kehendak Belanda.
Pada 7 Agustus 1744 muncul surat kabar pertama pada masa Gubenur Jendral Van Imhoff yang bernama Bataviasche Nouvelles, namun hanya dapat bertahan selama dua tahun. Selanjutnya, tahun 1776 muncul surat kabar bernama Het Vendu Nieuws, penduduk betawi biasa menyebutnya sebagai surat lelang karena media iklan minggguan ini banyak memuat berita lelang. Edisi terakhir Het Vendu Nieuws terbit pada tahun 1809 dan surat kabar ini merupakan surat kabar pertama dan terakhir yang terbit semasa VOC. Pada awal abad ke-19. Muncul Bataviashe Kolonial Courant, yang pada masa pemerintahan Inggris tahun 1812 berganti nama menjadi Java Government Gazette, namun akhirnya sewaktu Belanda kembali berkuasa pada 1816, surat kabar tersebut diteruskan dengan nama Javasche Courant.
W. Bruining yang berasal dari Rotterdam membawa alat percetakan pertama ke Indonesia. Ia ditawari ganti rugi untuk kembali ke Nederland karena alat cetaknya tidak diizinkan untuk dipakai. Dengan melakukan penolakan tersebut, pada tahun 1851 Bruining berhasil menerbitkan surat kabar mingguan Het Bataviasch Advertentie Blad yang berisikan iklan dan berita-berita umum yang dikutip dari penerbitan resmi yang terbit di Nederland (Staatscourant) dan berita di daerah jajahan dari Javasche Courant.
Tahun 1852, Java Bode di Betawi muncul sebagai pengganti Het Advertentie Blad yang didirikan oleh W. Bruining dengan bantuan H.M van Dorp, van Hazen Noman, dan Kolff yang awalnya beredar dua mingguan hingga pada akhir tahun 1869, Java Bode menjadi harian. Isi surat kabar Java Bode berada di bawah sensor pemerintah, dan dalam hal ini residen betawi mendapat tugas untuk mengawasi perkembangan surat kabar Java Bode tersebut.
Seiring berjalannya waktu, surat kabar semakin banyak bermunculan di kota-kota besar seperti Semarang (De Locomotief), Surabaya (Soerabajaasch Handelsblad dan Soerabaja Courant), Surakarta (Vorstenlanden), Cirebon (Tjiremai), Betawi (Java Bode, Bataviaasch Handelsblad dan Thiemes Adverstentieblad), Bandung (De Preanger Bode), Yogyakarta (Mataram), Sumatra (Deli Courant dan Sumatra Post), Padang (Sumatra Bode dan De Padanger), Palembang (Niews enn Advertentie blad voor de Residentie Palembang, dan Djambi en Banka), Kota Raja (Nieuws en Advertentie blad voor Atjeh en Onderhoorigheden), Makassar (Makassaarsche Courant), serta di Kalimantan Selatan dan Timur (Bandjarmasingsch Nieuwsblad)
Perkembangan surat kabar yang sangat pesat berhubungan dengan kedudukan lalu lintas telegram, apalagi surat kabar Belanda semakin lama banyak berisi berita-berita yang berasal dari teegram. Pada 1 April 1917, D.W Beretty bekas pegawai kantor telegrap mendirikan kantor berita ANETA (Algemeen Nieuws En Telegraaf Agentschap) atau Keagenan Berita Umum dan Telegrap. Selama perang dunia I, ANETA melayani berita penting dari medan pertempuran selama 24 jam penuh, walau pada akhirnya terjadi blokade terhadap berita-berita dengan unsur perang. Disisi lain, ANETA berkembang menjadi kantor berita yang besar dan modern dalam waktu yang singkat, serta menjadi pusat pertukaran berita dari berbagai penjuru dunia. ANETA menjadi pemegang monopoli dalam penyebaran dan pembagian berita, bahkan ANETA juga bersifat tidak sopan karena menerbitkan berita-berita yang bertujuan menghancurkan lawan-lawannya.
A. PERS JEPANG
Pada masa pendudukan Jepang, pers yang ada di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Penguasa atau biasa disebut “Osami Seiri” Nomor 16 yang berisi tentang pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan serta penilikan pengumuman dan penerangan. Pada Undang-Undang tersebut tertulis bahwa “Terlarang menerbitkan barang cetakan yang berhubungan dengan pengumuman atau penerangan baik yang berupa penerbitan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, maupun penerbitan dengan tidka tertentu waktunya, kecuali oleh badan-badan yang sudah mendapat izin.” Hal itu tertulis pada pasal 3 Undang-Undang Penguasa.
Berdasarkan peraturan yang telah dibuat oleh Jepang tersebut, seluruh surat kabar yang terbit pada masa Hindia-Belanda harus dihentikan penerbitannya. Penghentian tersebut disebabkan oleh anggapan bahwa penerbitan surat kabar Hindia-Belanda mengganggu keberadaan Jepang di Yogyakarta. Maka pada saat itu hanya ada satu jenis surat kabar yang ada di Yogyakarta yaitu “Sinar Matahari”. Surat kabar tersebut dipimpin oleh R. Rudjito, R.M. Sutio, dan R.M. Gondojuwono. Keberadaan pers pada masa sebelum kemerdekaan juga turut serta dalam berjuang dalam melawan kekerasan, ketidakadilan, penindasan, serta turut memprotes kesewenang-wenangan kolonial. Tidak hanya itu, keberadaan pers juga sebagai penyambung lidah rakyat serta membangkitkan semangat rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan.
DAFTAR PUSTAKA
Said, T. (1988). Seajarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: Haji Masagung.
Surjomihardjo, A. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas.
Comments
Post a Comment